Ini adalah kisah kasih(an) yang terjadi sekita akhir
tahun 2010. Waktu itu saya yang masih SMA sedang dalam perjalanan study tour
Lampung-Bali kelas Akselerasi SMAN 1 Terbanggi Besar. Bayangkan saja, study tour dari Lampung ke Bali, naik
bis, selama sepuluh hari, lalu mandi menumpang di rumah makan yang kami
singgahi. Mimpi buruk
di siang hari.
Hari kedua perjalanan, rombongan
kami hinggap sejenak di Jogja lalu tanpa menginap di hotel atau dimanapun bis
kami melaju ke Surabaya. Tujuan utama study tour kami memang Bali. Namun
berkat kepandaian Bu Endang mengatur jadwal dan budget, dapatlah kami mengunjungi tempat-tempat wisata di Jogja, Surabaya,
Madura, dan pulangnya mampir ke Mekar Sari hanya dengan budget satu setengah jutaan. Hahahaha...ketambahan dari beasiswa
BOP juga sih katanya... -__-
Perjalanan menuju Surabaya pada
malam itu cukup ekstrim. Entah karena sopirnya ngambil rute yang nggak
biasa, atau memang rombongan kami sedang mengalami kejadian dimana sebuah bis
pariwisata yang sedang melaju di jalan tol tiba-tiba muncul di tengah hutan. Oke.
Ini hanya dugaan mistis. Tapi yang jelas, malam itu (padahal baru jam 7 atau 8
malam), semua penumpang sudah mulai merasa ngantuk. Pemandangan di luar jendela
yang tadinya berhiaskan rumah-rumah penduduk, sawah, pokoknya yang menunjukkan
tanda-tanda kehidupan mulai berubah menjadi barisan pepohonan. Tebak saya,
sopir bis kami mengambil rute
yang melewati hutan. Tapi nggak tahu, hutan apa yang kami lewati.
Rute yang kami lewati sepertinya
agak-agak mirip sama Alas Roban (atau jangan-jangan beneran Alas Roban??). Hutan,
jalan berliku, malam hari dan angker. Beberapa kali saya berimajinasi serem,
disaat bis sedang melaju kencang, tiba-tiba saja sesosok yang tak dikenal
menempel di jendela sebelah saya. Wajah pucat, mata yang cekung, dan tatapan
kosong. Oke, sip. Ternyata itu bayangan teman saya, Tiwi, yang terpantul di
jendela. Ngasih kode ke saya untuk tuker tempat duduk karena dia mulai pusing
dan mual dengan rute yang berkelok-kelok dan jalan yang nggak rata.
Sisa dari perjalanan menuju
Surabaya ini saya habiskan dengan mencoba tidur nyaman sambil duduk bersila. Sialnya,
posisi enak ini dimanfaatkan oleh Tiwi yang tanpa berdiskusi dengan saya, dia
sudah tidur berbantalkan pangkuan saya. Saya disergap rasa dilema antara
kasihan sama teman
yang lagi mabuk darat, atau kasihan sama diri sendiri yang sudah tahu ujung
dari peristiwa ini adalah, kesemutan hebat.
Keadaan
dalam bis yang gelap, guncangan demi guncangan yang menggetarkan hati, eh
salah, badan maksudnya, serta kelokan-kelokan yang mulai terasa seperti efek
main bom bom car, mebuat saya tidak
menyadari berapa lama perjalanan kami menuju Surabaya. Rencananya nanti setiba
di Surabaya, kami akan menginap di guest
house milik ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember). Songong ya. Study
tour anak SMA, nginepnya salah satu perguruan tinggi terkenal. =B
Sekitar
pukul 11 malam (kalau tidak salah), perlahan-lahan bis kami mulai memperlambat
lajunya dan mulai memasuki kawasan kampus ITS. Lampu bis juga sudah mulai
dinyalakan, pertanda kami harus bersiap-siap turun. Sebelum bis benar-benar
parkir, guru saya sempat berdebat dengan satpam yang berjaga karena kami datang
terlalu malam. Untungnya tidak sampai menimbulkan masalah besar. =) Dengan setengah kesadaran, rombongan kami
mulai mengemasi tas dan turun dari bis. Berharap segera bisa meluruskan kaki di
kasur yang nyaman.
Sayangnya,
harapan saya dan teman-teman begitu saja pupus setelah mengetahui kalau bis
kami parkir jauh dari guest house
yang akan kami inapi karena bis besar tidak bisa masuk. Itu berarti kami harus
berjalan kaki dengan jarak yang tidak diketahui, dengan keadaan setengah
mengantuk, capek, dan membawa barang-barang kami agar tidak hilang dicuri bila
ditinggalkan di bagasi bis. Dengan kata lain, ditengah malam yang sunyi
itu...saya harus bersusah payah dengan kaki kesemutan menggeret koper berisi
keperluan untuk sepuluh hari, tas ransel, dan beberapa kresek oleh-oleh dari
Jogja...seorang diri. Greget banget!
Guest house yang akan kami tempati berada di
kompleks guest house Bougenvile. Saya
cukup terpesona akan keromantisan perjalanan kami dari bis ke guest house. Kami disajikan dengan
rimbunnya taman-taman guest house lain dengan temaramnya lampu taman yang
kekuningan. Di beberapa jalan, kami harus melewati terowongan tanaman rambat
yang berhiaskan kiciran angin (yang ternyata, keesokan harinya saat terang
barulah terlihat kalau itu adalah jejeran topeng serem yang digantung). Lalu
perjalanan kami harus berubah menjadi menyeramkan saat tetiba salah satu anjing
penjaga menggonggongi rombongan kami. Serem sih nggak juga, tapi kaget. Belum lagi
dari arah guest house yang lain
terdengar suara orang marah-marah. Eh, nggak taunya burung beo yang berusaha
menyambut kami, tapi salah pemilihan kata dan intonasi. -___-
Setelah
perjalanan panjang dengan segala kejutan, sampailah kami di guest house yang terlihat sangat hangat
dan nyaman. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing empat orang
per kamar. Tanpa aba-aba saya menggabungkan diri dengan Tiwi, Irine, dan Sinta.
Yup! Anak SMA dulu masih suka bentuk geng dan mereka bertigalah teman geng
saya. Kami memilih kamar yang jendelanya menghadap ke bagian belakang dan kamar
mandi di luar. Kamar kami cukup luas, ada dua double bed yang bisa dipepetkan, AC, sebuat tv LCD, dan sebuah meja
kursi. Kamar mandinya pun bersih.
Setelah
kami meletakkan barang-barang kami, dan menyelesaikan segala urusan yang
berkaitan dengan kamar mandi, kami makan bersama di ruang tengah. Saya akui
pelayanan di guest house ini sangat
bagus. Tempat enak dan makanannya eat-able
banget. Suasana yang sudah hampir tengah malam itu terasa seperti jam dinner biasanya. Rame, riuh, dan
menyenangkan...
Sebelum
tidur beberapa dari kami ada yang melakukan kembali ritual kamar mandi,
bongkar-bongkar koper, dan sholat isya. Saya juga menyempatkan diri berkunjung
ke kamar teman saya yang lain. Ketika melihat teman saya sedang memakai mukena,
saya jadi teringat kalau saya belum tahu arah kiblat.
“Arah
kiblatnya ke mana, Han?” tanyaku santai sambil guling-guling di kasur. Rupanya
kamar geng kami sedikit lebih luas daripada kamar teman saya.
“Ke
sana, Wid. Tadi aku tanya Bu Endang,” jawab Hani singkat sambil menunjuk arah
yang dimaksud lalu sholat.
Rasa
mengantuk saya sudah semakin menjadi, maka saya putuskan untuk kembali ke
kamar, sholat isya, lalu tidur. Tiwi dan Irine yang baru saja selesai sholat
sedang merapikan tempat tidur dari segala barang-barang kami dan melipat
mukena. Sedangkan teman saya yang lain, si Sinta entah kemana.
Selesai
sholat saya ikut bergabung dengan Tiwi dan Irine yang sudah lebih dulu
berbaring di tempat tidur dan sibuk dengan handphone masing-masing. Yang sms
pacarlah, yang sms orang tua lah...
“Eh,
kalian udah pada sholat?” tanya Sinta yang tetiba aja muncul dengan wajah
basah.
“Udah
dong,” jawab Tiwi agak mengejek.
“Kiblatnya
ke arah mana?”
“Sana,”
jawab Irine singkat sambil menunjuk ke arah belakang bahunya.
Satu
raka’at Sinta sholat, saya, Tiwi, dan Irine masih berbaring sambil mainan
handphone dan menahan ketawa karena becandaanya Tiwi. Takut mengganggu
konsentrasi sholatnya Sinta. Sampai pada akhirnya, saya menyadari
sesuatu...sesuatu yang buruk...sesuatu yang sangat menyesatkan...
“Eh,
Wik...liat ke atas geh.. itu apa coba?” tanya saya sambil menyenggol teman saya
dan menunjuk ke arah pojokan atas langit-langit kamar.
“Apaan
sih emangnya?” Tiwi mulai penasaran.
“Coba
baca geh..” Saya masih bersikap sok horror.
“Emm...a...rah..ki...blat...emang
kenapa sih, Wid?” Tiwi belum mengerti maksud saya. Irine yang sudah hampir
tertidur akhirnya ikut nimbrung. Kami bertiga berdesak-desakan dipojokan bed
agar bisa melihat tanda hijau yang tergambar di langit-langit kamar.
“Tau
nggak...” kata saya mulai serius lagi, “Sinta sholat arahnya beda 90 derajat
dari tanda yang diatas.”
Hening.
Kami bertiga saling pandang. Lalu memandang Sinta yang masih dengan khusyuknya
melanjutkan sholat. Saya yakin benar sepelan apapun suara saya saat menyebutkan
’90 derajat’, Sinta pasti dengar. Oleh karena itu, muncul begitu saja niatan
kami bertiga untuk tertawa sekeras-kerasnya agar Sinta membatalkan sholatnya
dan mengarah ke arah yang benar.
“HAHAHAHAHA!!!”
kami bertiga kompak tertawa geli dan sialnya Sinta tetep tak bergeming.
Oke.
Kami sadari niat jahat kami memang salah. Tapi ini sudah keterlaluan. Tempat
pemasangan tanda arah kiblat yang nggak masuk akal ini benar-benar menyesatkan
umat muslim serta tidak sesuai dengan peraturan pemasangan petunjuk arah yang
salah satunya berbunyi “pasanglah tanda atau petunjuk arah ditempat yang
memungkinkan orang melihatnya”.
Selesai
Sinta sholat, dengan masih tertawa ngakak dan napas ngos-ngosan, kami berebut
memberi tahu Sinta soal petunjuk arah kiblat itu. Diluar dugaan, Sinta sudah
menangis karena tak kuasa lagi menahan tawa mendengar segala ocehan kami selama
dia sholat. Pada akhirnya, dengan alasan ketidaktahuan dan badan yang emang
sudah capek banget, Sinta memutuskan untuk tidak mengulang sholatnya dan kami
pun tidur. Oh, sungguh malam yang ramai.
Sampai
detik ini pun saya masih nggak mengerti, apa maksudnya pihak pengurus guest house ITS membuat petunjuk arah
kiblat di langit-langit kamar. Sudah di
atas, kecil, pojokan pula.
SARAN
1. Ketika di penginapan, perhatikan
seluruh kamar secara mendetail. Jangan cuma perhatikan mas/mbak resepsionisnya
yang kece badai, atau fasilitas-fasilitas penginapan yang bisa bikin stay-able. Siapa tahu menemukan
petunjuk-petunjuk tersembunyi. :’)
2. Saat menginap di tempat yang belum
pernah dikunjungi, ada baiknya menanyakan arah kiblat yang benar kepada orang
yang benar juga. Jangan asal menerka-nerka atau bertanya kepada orang yang
sudah sholat duluan. Meskipun itu teman, guru anda sendiri. Jangan sampai
kejadian ini terulang lagi dengan derajat yang lebih parah. -_____-
3. Ada baiknya juga, kalau sedang
bepergian jauh, untuk para muslim wajib membawa kompas kiblat atau benda apapun
yang bisa menunjukkan arah kiblat. Syukur-syukur yang paling canggih.
d[cerpen ini adalah mantan peserta lomba 'The Ho[s]tel" tahun 2013]
{
{