Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Desember 2013

Sembilan Puluh Derajat

        Ini adalah kisah kasih(an) yang terjadi sekita akhir tahun 2010. Waktu itu saya yang masih SMA sedang dalam perjalanan study tour Lampung-Bali kelas Akselerasi SMAN 1 Terbanggi Besar. Bayangkan saja, study tour dari Lampung ke Bali, naik bis, selama sepuluh hari, lalu mandi menumpang di rumah makan yang kami singgahi. Mimpi buruk di siang hari.
Hari kedua perjalanan, rombongan kami hinggap sejenak di Jogja lalu tanpa menginap di hotel atau dimanapun bis kami  melaju ke Surabaya. Tujuan utama study tour kami memang Bali. Namun berkat kepandaian Bu Endang mengatur jadwal dan budget, dapatlah kami mengunjungi tempat-tempat wisata di Jogja, Surabaya, Madura, dan pulangnya mampir ke Mekar Sari hanya dengan budget satu setengah jutaan. Hahahaha...ketambahan dari beasiswa BOP juga sih katanya..-__-
Perjalanan menuju Surabaya pada malam itu cukup ekstrim. Entah karena sopirnya ngambil rute yang nggak biasa, atau memang rombongan kami sedang mengalami kejadian dimana sebuah bis pariwisata yang sedang melaju di jalan tol tiba-tiba muncul di tengah hutan. Oke. Ini hanya dugaan mistis. Tapi yang jelas, malam itu (padahal baru jam 7 atau 8 malam), semua penumpang sudah mulai merasa ngantuk. Pemandangan di luar jendela yang tadinya berhiaskan rumah-rumah penduduk, sawah, pokoknya yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan mulai berubah menjadi barisan pepohonan. Tebak saya, sopir bis kami mengambil rute yang melewati hutan. Tapi nggak tahu, hutan apa yang kami lewati.
Rute yang kami lewati sepertinya agak-agak mirip sama Alas Roban (atau jangan-jangan beneran Alas Roban??). Hutan, jalan berliku, malam hari dan angker. Beberapa kali saya berimajinasi serem, disaat bis sedang melaju kencang, tiba-tiba saja sesosok yang tak dikenal menempel di jendela sebelah saya. Wajah pucat, mata yang cekung, dan tatapan kosong. Oke, sip. Ternyata itu bayangan teman saya, Tiwi, yang terpantul di jendela. Ngasih kode ke saya untuk tuker tempat duduk karena dia mulai pusing dan mual dengan rute yang berkelok-kelok dan jalan yang nggak rata.
Sisa dari perjalanan menuju Surabaya ini saya habiskan dengan mencoba tidur nyaman sambil duduk bersila. Sialnya, posisi enak ini dimanfaatkan oleh Tiwi yang tanpa berdiskusi dengan saya, dia sudah tidur berbantalkan pangkuan saya. Saya disergap rasa dilema antara kasihan sama teman yang lagi mabuk darat, atau kasihan sama diri sendiri yang sudah tahu ujung dari peristiwa ini adalah, kesemutan hebat.
Keadaan dalam bis yang gelap, guncangan demi guncangan yang menggetarkan hati, eh salah, badan maksudnya, serta kelokan-kelokan yang mulai terasa seperti efek main bom bom car, mebuat saya tidak menyadari berapa lama perjalanan kami menuju Surabaya. Rencananya nanti setiba di Surabaya, kami akan menginap di guest house milik ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember). Songong ya. Study tour anak SMA, nginepnya salah satu perguruan tinggi terkenal. =B
Sekitar pukul 11 malam (kalau tidak salah), perlahan-lahan bis kami mulai memperlambat lajunya dan mulai memasuki kawasan kampus ITS. Lampu bis juga sudah mulai dinyalakan, pertanda kami harus bersiap-siap turun. Sebelum bis benar-benar parkir, guru saya sempat berdebat dengan satpam yang berjaga karena kami datang terlalu malam. Untungnya tidak sampai menimbulkan masalah besar. =)  Dengan setengah kesadaran, rombongan kami mulai mengemasi tas dan turun dari bis. Berharap segera bisa meluruskan kaki di kasur yang nyaman.
Sayangnya, harapan saya dan teman-teman begitu saja pupus setelah mengetahui kalau bis kami parkir jauh dari guest house yang akan kami inapi karena bis besar tidak bisa masuk. Itu berarti kami harus berjalan kaki dengan jarak yang tidak diketahui, dengan keadaan setengah mengantuk, capek, dan membawa barang-barang kami agar tidak hilang dicuri bila ditinggalkan di bagasi bis. Dengan kata lain, ditengah malam yang sunyi itu...saya harus bersusah payah dengan kaki kesemutan menggeret koper berisi keperluan untuk sepuluh hari, tas ransel, dan beberapa kresek oleh-oleh dari Jogja...seorang diri. Greget banget!
Guest house yang akan kami tempati berada di kompleks guest house Bougenvile. Saya cukup terpesona akan keromantisan perjalanan kami dari bis ke guest house. Kami disajikan dengan rimbunnya taman-taman guest house lain dengan temaramnya lampu taman yang kekuningan. Di beberapa jalan, kami harus melewati terowongan tanaman rambat yang berhiaskan kiciran angin (yang ternyata, keesokan harinya saat terang barulah terlihat kalau itu adalah jejeran topeng serem yang digantung). Lalu perjalanan kami harus berubah menjadi menyeramkan saat tetiba salah satu anjing penjaga menggonggongi rombongan kami. Serem sih nggak juga, tapi kaget. Belum lagi dari arah guest house yang lain terdengar suara orang marah-marah. Eh, nggak taunya burung beo yang berusaha menyambut kami, tapi salah pemilihan kata dan intonasi. -___-
Setelah perjalanan panjang dengan segala kejutan, sampailah kami di guest house yang terlihat sangat hangat dan nyaman. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing empat orang per kamar. Tanpa aba-aba saya menggabungkan diri dengan Tiwi, Irine, dan Sinta. Yup! Anak SMA dulu masih suka bentuk geng dan mereka bertigalah teman geng saya. Kami memilih kamar yang jendelanya menghadap ke bagian belakang dan kamar mandi di luar. Kamar kami cukup luas, ada dua double bed yang bisa dipepetkan, AC, sebuat tv LCD, dan sebuah meja kursi. Kamar mandinya pun bersih.
Setelah kami meletakkan barang-barang kami, dan menyelesaikan segala urusan yang berkaitan dengan kamar mandi, kami makan bersama di ruang tengah. Saya akui pelayanan di guest house ini sangat bagus. Tempat enak dan makanannya eat-able banget. Suasana yang sudah hampir tengah malam itu terasa seperti jam dinner biasanya. Rame, riuh, dan menyenangkan...
Sebelum tidur beberapa dari kami ada yang melakukan kembali ritual kamar mandi, bongkar-bongkar koper, dan sholat isya. Saya juga menyempatkan diri berkunjung ke kamar teman saya yang lain. Ketika melihat teman saya sedang memakai mukena, saya jadi teringat kalau saya belum tahu arah kiblat.
“Arah kiblatnya ke mana, Han?” tanyaku santai sambil guling-guling di kasur. Rupanya kamar geng kami sedikit lebih luas daripada kamar teman saya.
“Ke sana, Wid. Tadi aku tanya Bu Endang,” jawab Hani singkat sambil menunjuk arah yang dimaksud lalu sholat.
Rasa mengantuk saya sudah semakin menjadi, maka saya putuskan untuk kembali ke kamar, sholat isya, lalu tidur. Tiwi dan Irine yang baru saja selesai sholat sedang merapikan tempat tidur dari segala barang-barang kami dan melipat mukena. Sedangkan teman saya yang lain, si Sinta entah kemana.
Selesai sholat saya ikut bergabung dengan Tiwi dan Irine yang sudah lebih dulu berbaring di tempat tidur dan sibuk dengan handphone masing-masing. Yang sms pacarlah, yang sms orang tua lah...
“Eh, kalian udah pada sholat?” tanya Sinta yang tetiba aja muncul dengan wajah basah.
“Udah dong,” jawab Tiwi agak mengejek.
“Kiblatnya ke arah mana?”
“Sana,” jawab Irine singkat sambil menunjuk ke arah belakang bahunya.
Satu raka’at Sinta sholat, saya, Tiwi, dan Irine masih berbaring sambil mainan handphone dan menahan ketawa karena becandaanya Tiwi. Takut mengganggu konsentrasi sholatnya Sinta. Sampai pada akhirnya, saya menyadari sesuatu...sesuatu yang buruk...sesuatu yang sangat menyesatkan...
“Eh, Wik...liat ke atas geh.. itu apa coba?” tanya saya sambil menyenggol teman saya dan menunjuk ke arah pojokan atas langit-langit kamar.
“Apaan sih emangnya?” Tiwi mulai penasaran.
“Coba baca geh..” Saya masih bersikap sok horror.
“Emm...a...rah..ki...blat...emang kenapa sih, Wid?” Tiwi belum mengerti maksud saya. Irine yang sudah hampir tertidur akhirnya ikut nimbrung. Kami bertiga berdesak-desakan dipojokan bed agar bisa melihat tanda hijau yang tergambar di langit-langit kamar.
“Tau nggak...” kata saya mulai serius lagi, “Sinta sholat arahnya beda 90 derajat dari tanda yang diatas.”
Hening. Kami bertiga saling pandang. Lalu memandang Sinta yang masih dengan khusyuknya melanjutkan sholat. Saya yakin benar sepelan apapun suara saya saat menyebutkan ’90 derajat’, Sinta pasti dengar. Oleh karena itu, muncul begitu saja niatan kami bertiga untuk tertawa sekeras-kerasnya agar Sinta membatalkan sholatnya dan mengarah ke arah yang benar.
“HAHAHAHAHA!!!” kami bertiga kompak tertawa geli dan sialnya Sinta tetep tak bergeming.
Oke. Kami sadari niat jahat kami memang salah. Tapi ini sudah keterlaluan. Tempat pemasangan tanda arah kiblat yang nggak masuk akal ini benar-benar menyesatkan umat muslim serta tidak sesuai dengan peraturan pemasangan petunjuk arah yang salah satunya berbunyi “pasanglah tanda atau petunjuk arah ditempat yang memungkinkan orang melihatnya”.
Selesai Sinta sholat, dengan masih tertawa ngakak dan napas ngos-ngosan, kami berebut memberi tahu Sinta soal petunjuk arah kiblat itu. Diluar dugaan, Sinta sudah menangis karena tak kuasa lagi menahan tawa mendengar segala ocehan kami selama dia sholat. Pada akhirnya, dengan alasan ketidaktahuan dan badan yang emang sudah capek banget, Sinta memutuskan untuk tidak mengulang sholatnya dan kami pun tidur. Oh, sungguh malam yang ramai.
Sampai detik ini pun saya masih nggak mengerti, apa maksudnya pihak pengurus guest house ITS membuat petunjuk arah kiblat di langit-langit kamar. Sudah di  atas, kecil, pojokan pula.


SARAN
1.      Ketika di penginapan, perhatikan seluruh kamar secara mendetail. Jangan cuma perhatikan mas/mbak resepsionisnya yang kece badai, atau fasilitas-fasilitas penginapan yang bisa bikin stay-able. Siapa tahu menemukan petunjuk-petunjuk tersembunyi. :’)
2.      Saat menginap di tempat yang belum pernah dikunjungi, ada baiknya menanyakan arah kiblat yang benar kepada orang yang benar juga. Jangan asal menerka-nerka atau bertanya kepada orang yang sudah sholat duluan. Meskipun itu teman, guru anda sendiri. Jangan sampai kejadian ini terulang lagi dengan derajat yang lebih parah. -_____-
3.      Ada baiknya juga, kalau sedang bepergian jauh, untuk para muslim wajib membawa kompas kiblat atau benda apapun yang bisa menunjukkan arah kiblat. Syukur-syukur yang paling canggih.

d[cerpen ini adalah mantan peserta lomba 'The Ho[s]tel" tahun 2013]


{
{

Senin, 21 Oktober 2013

Cowok Berbaju Merah

Terjadi lagi. Saat aku tepat melihat sosoknya yang memakai baju merah, angin berhembus pelan dan waktu terasa terhenti. Aku tahu, aku sedang jatuh cinta. Kejadian seperti ini sudah biasa bagi yang sedang terjatuh. Terjatuh dalam cinta, lupa di mana ia berada...

                “Kamu ngerjain dekorasi yang di sini dulu ya. Sambil nunggu temen-temen yang lain dateng,” kata Kak Rani.
                “Iya, Kak,” jawab Trisna singkat. Ia masih malu-malu untuk mengobrol santai dengan Kak Rani, seniornya di kampus.
                “Aku tinggal sebentar ya. O, iya, buat masang-masang yang di tempat tinggi minta tolong si Nanda,” Kak Rani terlihat mencari-cari sesosok yang bernama Nanda, “Nanda!!! Bantuin sebelah sini geh! Kamu lagi nganggur kan?!” teriak Kak Rani dengan suara cemprengnya.
                Aku mengenalinya. Cowok yang pernah satu kelas mata kuliah umum denganku. Namanya Nanda. Ciri khas darinya adalah pendiam dan wajah ‘bangun tidur’nya yang mungkin bukan termasuk kategori ‘ganteng’. Namun berhasil membuatku penasaran.
                “Apa yang bisa aku bantu?” tanya Nanda singkat.
                Waktu terasa berhenti. Tanpa kusadari, hanya ada aku dan Nanda di panggung untuk acara bakti sosial besok. Aku menatap malu-malu. Dia bertanya malu-malu.
                “Eh..iya..tolong pasangin ini di sebelah sini ya.”
                “Oke, aku yang naik tangga, kamu yang pilihin mana yang mau dipasang.”
                Hanya aku dan dia. Diatas panggung hanya berdua. Dalam hati aku berharap semoga dia tidak melihat wajahku yang bersemu merah. Lampu panggung berpijar redup. Sangat mendukung momen ini.
                “Ng..kurang ke atas dikit,” kata Trisna mengarahkan Nanda untuk memasang dekorasi ke tempat yang tepat.
                “Kayak gini?” tanya Nanda memastikan.
                “Iya. Oke, sip!”
                Setelah dekorasi di sisi kiri panggung terpasang semua, dengan hati-hati Nanda turun. Sedangkan Trisna kembali memilih-milih dekorasi yang akan dipasang di sisi kanan panggung.
                “Pindah sana, yuk.”
                Mungkin hanya hal kecil. Aku senang mendengar suaranya. Suara malu-malu tapi mampu menghipnotisku. Tiga kata. Satu kalimat. Sepersekian detik. Aku merasa sudah lebih mengenalnya. Dia pemalu, tetapi bukan penakut. Dia...menenangkan.
                “Oke,” jawab Trisna patuh. Dia benar-benar terhipnotis oleh cowok yang baru saja diajaknya mengobrol sambil bekerja.

                Seminggu setelah malam itu, Trisna mendeklarasikan diri sebagai penggemar rahasia Nanda. Mengikuti hidupnya dari sisi manapun. Twitter, Facebook, Blog, sampai website jurusan ia telusuri. Meskipun hanya sedikit informasi tentang Nanda yang bisa ia ketahui,  Trisna ingin lebih mengenal Nanda. Sampai suatu hari, terulang kembali efek waktu terhenti yang sama...
                Dan pandangan kami saling bertemu tanpa sengaja. Aku melihatnya tersenyum. Dia melihat aku yang sedang menatap penuh arti padanya. Sederhana. Sekitarku tidak bergerak dan angin berhembus nyaman. Daun kekuningan yang terbang tersapu angin sebentar saja menghalangi fokusku padanya. Sampai pada akhirnya daun menyentuh tanah, dan kami menyadari sesuatu...kami saling memandang malu-malu lalu salah tingkah.
                “Kamu kenapa sih senyum-senyum sendiri?” tanya Tiwi penasaran. Digodanya sahabat karibnya itu. Tiwi tahu alasan aura Trisna tiba-tiba berubah. Orang yang disukai Trisna ada di sekitar mereka.
                “Ng...tau sendiri kan...” jawab Trisna malas menjelaskan kalau ada Nanda yang dikaguminya ada di sekitar situ. Dia malu kalau teman-teman yang lain, kecuali Tiwi, tahu kalau sedang ada orang yang disukainya.
                “Ssstt...dia jalan ke arah sini tuh. Pantengin terus gih,” bisik Tiwi.
                Tiba-tiba waktu terasa semakin melambat. Aku terus menatapnya. Memperhatikan cara dia berjalan dan ekspresi wajah yang ia buat saat mengobrol dengan temannya. Melambat....semakin melambat...namun angin berhembus semakin kencang. Membawa banyak dedaunan...
Dia berjalan semakin mendekat.
Jantungku berdegup kencang.
Lalu waktu berhenti.
Angin tidak lagi berhembus.
Yang ada hanya dedaunan yang terjatuh lunglai.
Aku sudah meraih tangannya...


                “Aku suka kamu...”

Bodoh. Memalukan.

 You can find my story at https://www.facebook.com/bubblechachacha thank you~ ^^

Selasa, 12 Februari 2013

Dialogue! Di-a-Lo-Gu-e!


          Hujan mengalir deras di jendela yang tidak berkerai. Angin terlihat porak-poranda mengacaukan pepohonan. Seseorang dengan tenangnya duduk di ruangan yang dipenuhi cahaya kekuningan. Ia terlihat sangat biasa, seperti pelanggan yang biasa. Bau enak menyerbak dari balik pintu yang sesekali terbuka karena laki-laki berseragam kemeja putih, dasi dan celana hitam, serta senyuman yang menawan hilir mudik menjunjung nampan. Rambut mereka disisir rapi ke belakang.
Halo?
Halo.
Bagaimana perasaanmu sekarang?
Hm..biasa.
Seperti biasa?
Kau tahu, aku selalu seperti ini.
Oh,yeah. Jadi? Biasa saja?
Tidak. Tidak biasa.
Ada yang menarik hari ini?
Mm...mungkin. Aku masih tidak melakukan hal yang heboh.
Heboh?
Hmm..hm...langit masih tetap luas. Kadang biru, kadang kemerahan. Aku ingin bergerak lebih banyak.
Bagaimana dengan pendengaranmu?
Yeah, di sini ramai sekali.
Dimana?
Kafe. Aku bisa mendengar obrolan mereka. semua orang yang ada di sini. Yang ada di dapur juga.
Oh ya? Aku tidak pernah tahu pendengaranmu setajam itu.
Haha... Aku bahkan bisa mendengar suara hati mereka.
Serius? Bagaimana bisa?
Kau konyol! Aku hanya bercanda.
Oh, aku tertipu lagi. Aku terlalu mempercayaimu.
Tidak, tidak. Kau hanya mencari inspirasimu saja.
Tidak. Aku hanya mengobrol denganmu.
Bohong.
Tidak.
Bohong!
Oh, baiklah. Kau benar.
Cih!
Apa? Kau marah padaku?
Tidak.
Bohong.
Tidak.
Bohong!
Tidak! Tidak sepenuhnya marah.
Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?
Tidak enak.
Kenapa?
Berisik.
Siapa?
Mereka yang suaranya terdengar olehku.
Lalu, kau kesal?
Tidak. Aku ingin bersuara lebih keras.
Untuk apa?
Menenangkan perasaanku.
Yuk, kita pergi.
Kemana?
Ke tempat dimana tidak ada yang mengenalmu.
Ide bagus. Aku bisa teriak mengumpat mereka.
Itu tidak baik.
Aku tahu. Tapi setidaknya aku tidak mengumpat di depan mereka.
Iya, tapi kata-katamu akan menyebar kepada semua melalui udara. Kau tahu 'kan kalau gelombang suara merambat di udara. Mungkin saja salah satu dari mereka mempunyai telinga super.
Tidak akan. Kalau aku teriak sambil memelukmu. Suaraku akan teredam oleh bajumu.
Tidak aku ijinkan.
Ya sudah.
Hmm..
Apa?
Tidak. Terima kasih inspirasinya.
Hah?
Kau ini manusia bermuka dua.
Heh?
Itu tidak baik. Kau tidak seharusnya berada di sana. Kalau kau tidak merasa nyaman, pergilah. Kalau kau tidak bisa berkamuflase, diam atau pergilah. Jangan membuat perasaanmu jadi tidak enak sendiri. Mereka hanya menjalani hidup mereka dengan normal. Kau juga harus begitu, lakukan apa yang kau suka. Memaksakan diri tetap selevel dengan mereka itu membuat kepalamu sakit 'kan?
Kau benar.
Tidak ada salahnya menjadi berbeda atau keberadaanmu tidak disadari oleh mereka. Tetap perhatikan mereka dengan caramu.
Ah, tsundere*?
Nah, aku tidak tahu.
Ah, oke.
Kesimpulannya, terima kasih atas inspirasinya.
Yah, jangan sungkan-sungkan. Meski aku tidak tahu maksudmu. 
Ya sudahlah.
Nah, coba tebak apa yang aku lakukan tadi?
Berdiam diri dan mengobrol denganku?
Ya. Tapi ada hal lain yang aku lakukan.
Apa itu?
Tebak saja. Jangan menyerah begitu saja.
Kau ini hanya mempermainkanku!
Hehehe, kau mudah sekali digoda. Aku mencari inspirasi untuk kesenanganku.
Hah?
Kau adalah inspirasiku.
Mm...yeah. Aku merasa terhormat. Tapi bagaimana bisa?
Aku yakin, hidupku lebih menarik di dalam kepalaku.
Wow, kalimat yang bagus!
Diamlah.
Hah? Aku salah bicara apa?
Kau cuma salah satu makhluk imajinasiku. Tidak boleh banyak berkomentar.
Oh, baiklah. Mau mengganti topik pembicaraan?
Tidak.
Kenapa?
Hahaha, kau ini menyenangkan, tapi aku juga ingin melakukan hal yang menyenangkan secara 'real'.
Hmm..hm..
Selesaikan saja lagumu. Aku sudah memberikanmu banyak inspirasi 'kan?
Yup.
Saatnya kau pergi. Kau cukup membuatku sibuk siang ini.
Yup. Yup. Sebut saja namaku lain kali.
Ah, ya. Aku belum memberimu nama.
Terserah kau.
Hehehe, bye! bye!

          Hujan deras sudah menjadi gerimis. Orang-orang yang celananya setengah basah semakin banyak memenuhi ruangan. Kepulan asap dari cangkir-cangkir yang mereka minum semakin memperjelas aroma khas. Aroma Kopi. Sedangkan seseorang itu masih di tempat yang sama.
 Hey! 
Whoa!
Ayo pergi. Jangan terlalu fokus dengan belajarmu.
Hey, aku hanya menulis.
Sudahlah. Mereka sudah duluan keluar, tempat ini semakin sesak. Nah, kita bersenang-senang di tempat lain. Mereka bilang itu tempat yang menyenangkan. 
 Oh. Uhm... Hm!
 Cepat, cepat, atau mereka akan meninggalkan kita.
           Sekali lagi, bel kecil di pintu masuk berdenting dengan kerasnya. Ah, kali ini bukan si Celana Setengah Basah yang datang, tapi mereka yang berapi-api ingin merasakan sisa air hujan lewat ujung-ujung rambut mereka yang kering.

---END---


*tsundere : Tsundere (ツンデレ?) adalah salah satu bentuk proses pengembangan karakter Jepang yang menggambarkan perubahan sikap seseorang yang awalnya dingin dan bahkan kasar terhadap orang lain sebelum perlahan-lahan menunjukkan sisi hangat kepadanya. Kata ini berasal dari kata tsun tsun (ツンツン?) yang berarti membuang muka dengan jijik, ditambahdere dere (デレデレ?) yang berarti menjadi penuh kasih sayang atau sedang jatuh cinta.[1]Selain itu, kata ini juga dipakai untuk menggambarkan seseorang yang "biasanya menunjukkan sikap dingin, namun di depan orang yang disukainya, sikap tersebut berubah menjadi penuh kasih sayang." ( http://id.wikipedia.org/wiki/Tsundere )