Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Oktober 2013

Cowok Berbaju Merah

Terjadi lagi. Saat aku tepat melihat sosoknya yang memakai baju merah, angin berhembus pelan dan waktu terasa terhenti. Aku tahu, aku sedang jatuh cinta. Kejadian seperti ini sudah biasa bagi yang sedang terjatuh. Terjatuh dalam cinta, lupa di mana ia berada...

                “Kamu ngerjain dekorasi yang di sini dulu ya. Sambil nunggu temen-temen yang lain dateng,” kata Kak Rani.
                “Iya, Kak,” jawab Trisna singkat. Ia masih malu-malu untuk mengobrol santai dengan Kak Rani, seniornya di kampus.
                “Aku tinggal sebentar ya. O, iya, buat masang-masang yang di tempat tinggi minta tolong si Nanda,” Kak Rani terlihat mencari-cari sesosok yang bernama Nanda, “Nanda!!! Bantuin sebelah sini geh! Kamu lagi nganggur kan?!” teriak Kak Rani dengan suara cemprengnya.
                Aku mengenalinya. Cowok yang pernah satu kelas mata kuliah umum denganku. Namanya Nanda. Ciri khas darinya adalah pendiam dan wajah ‘bangun tidur’nya yang mungkin bukan termasuk kategori ‘ganteng’. Namun berhasil membuatku penasaran.
                “Apa yang bisa aku bantu?” tanya Nanda singkat.
                Waktu terasa berhenti. Tanpa kusadari, hanya ada aku dan Nanda di panggung untuk acara bakti sosial besok. Aku menatap malu-malu. Dia bertanya malu-malu.
                “Eh..iya..tolong pasangin ini di sebelah sini ya.”
                “Oke, aku yang naik tangga, kamu yang pilihin mana yang mau dipasang.”
                Hanya aku dan dia. Diatas panggung hanya berdua. Dalam hati aku berharap semoga dia tidak melihat wajahku yang bersemu merah. Lampu panggung berpijar redup. Sangat mendukung momen ini.
                “Ng..kurang ke atas dikit,” kata Trisna mengarahkan Nanda untuk memasang dekorasi ke tempat yang tepat.
                “Kayak gini?” tanya Nanda memastikan.
                “Iya. Oke, sip!”
                Setelah dekorasi di sisi kiri panggung terpasang semua, dengan hati-hati Nanda turun. Sedangkan Trisna kembali memilih-milih dekorasi yang akan dipasang di sisi kanan panggung.
                “Pindah sana, yuk.”
                Mungkin hanya hal kecil. Aku senang mendengar suaranya. Suara malu-malu tapi mampu menghipnotisku. Tiga kata. Satu kalimat. Sepersekian detik. Aku merasa sudah lebih mengenalnya. Dia pemalu, tetapi bukan penakut. Dia...menenangkan.
                “Oke,” jawab Trisna patuh. Dia benar-benar terhipnotis oleh cowok yang baru saja diajaknya mengobrol sambil bekerja.

                Seminggu setelah malam itu, Trisna mendeklarasikan diri sebagai penggemar rahasia Nanda. Mengikuti hidupnya dari sisi manapun. Twitter, Facebook, Blog, sampai website jurusan ia telusuri. Meskipun hanya sedikit informasi tentang Nanda yang bisa ia ketahui,  Trisna ingin lebih mengenal Nanda. Sampai suatu hari, terulang kembali efek waktu terhenti yang sama...
                Dan pandangan kami saling bertemu tanpa sengaja. Aku melihatnya tersenyum. Dia melihat aku yang sedang menatap penuh arti padanya. Sederhana. Sekitarku tidak bergerak dan angin berhembus nyaman. Daun kekuningan yang terbang tersapu angin sebentar saja menghalangi fokusku padanya. Sampai pada akhirnya daun menyentuh tanah, dan kami menyadari sesuatu...kami saling memandang malu-malu lalu salah tingkah.
                “Kamu kenapa sih senyum-senyum sendiri?” tanya Tiwi penasaran. Digodanya sahabat karibnya itu. Tiwi tahu alasan aura Trisna tiba-tiba berubah. Orang yang disukai Trisna ada di sekitar mereka.
                “Ng...tau sendiri kan...” jawab Trisna malas menjelaskan kalau ada Nanda yang dikaguminya ada di sekitar situ. Dia malu kalau teman-teman yang lain, kecuali Tiwi, tahu kalau sedang ada orang yang disukainya.
                “Ssstt...dia jalan ke arah sini tuh. Pantengin terus gih,” bisik Tiwi.
                Tiba-tiba waktu terasa semakin melambat. Aku terus menatapnya. Memperhatikan cara dia berjalan dan ekspresi wajah yang ia buat saat mengobrol dengan temannya. Melambat....semakin melambat...namun angin berhembus semakin kencang. Membawa banyak dedaunan...
Dia berjalan semakin mendekat.
Jantungku berdegup kencang.
Lalu waktu berhenti.
Angin tidak lagi berhembus.
Yang ada hanya dedaunan yang terjatuh lunglai.
Aku sudah meraih tangannya...


                “Aku suka kamu...”

Bodoh. Memalukan.

 You can find my story at https://www.facebook.com/bubblechachacha thank you~ ^^

Selasa, 12 Februari 2013

Dialogue! Di-a-Lo-Gu-e!


          Hujan mengalir deras di jendela yang tidak berkerai. Angin terlihat porak-poranda mengacaukan pepohonan. Seseorang dengan tenangnya duduk di ruangan yang dipenuhi cahaya kekuningan. Ia terlihat sangat biasa, seperti pelanggan yang biasa. Bau enak menyerbak dari balik pintu yang sesekali terbuka karena laki-laki berseragam kemeja putih, dasi dan celana hitam, serta senyuman yang menawan hilir mudik menjunjung nampan. Rambut mereka disisir rapi ke belakang.
Halo?
Halo.
Bagaimana perasaanmu sekarang?
Hm..biasa.
Seperti biasa?
Kau tahu, aku selalu seperti ini.
Oh,yeah. Jadi? Biasa saja?
Tidak. Tidak biasa.
Ada yang menarik hari ini?
Mm...mungkin. Aku masih tidak melakukan hal yang heboh.
Heboh?
Hmm..hm...langit masih tetap luas. Kadang biru, kadang kemerahan. Aku ingin bergerak lebih banyak.
Bagaimana dengan pendengaranmu?
Yeah, di sini ramai sekali.
Dimana?
Kafe. Aku bisa mendengar obrolan mereka. semua orang yang ada di sini. Yang ada di dapur juga.
Oh ya? Aku tidak pernah tahu pendengaranmu setajam itu.
Haha... Aku bahkan bisa mendengar suara hati mereka.
Serius? Bagaimana bisa?
Kau konyol! Aku hanya bercanda.
Oh, aku tertipu lagi. Aku terlalu mempercayaimu.
Tidak, tidak. Kau hanya mencari inspirasimu saja.
Tidak. Aku hanya mengobrol denganmu.
Bohong.
Tidak.
Bohong!
Oh, baiklah. Kau benar.
Cih!
Apa? Kau marah padaku?
Tidak.
Bohong.
Tidak.
Bohong!
Tidak! Tidak sepenuhnya marah.
Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?
Tidak enak.
Kenapa?
Berisik.
Siapa?
Mereka yang suaranya terdengar olehku.
Lalu, kau kesal?
Tidak. Aku ingin bersuara lebih keras.
Untuk apa?
Menenangkan perasaanku.
Yuk, kita pergi.
Kemana?
Ke tempat dimana tidak ada yang mengenalmu.
Ide bagus. Aku bisa teriak mengumpat mereka.
Itu tidak baik.
Aku tahu. Tapi setidaknya aku tidak mengumpat di depan mereka.
Iya, tapi kata-katamu akan menyebar kepada semua melalui udara. Kau tahu 'kan kalau gelombang suara merambat di udara. Mungkin saja salah satu dari mereka mempunyai telinga super.
Tidak akan. Kalau aku teriak sambil memelukmu. Suaraku akan teredam oleh bajumu.
Tidak aku ijinkan.
Ya sudah.
Hmm..
Apa?
Tidak. Terima kasih inspirasinya.
Hah?
Kau ini manusia bermuka dua.
Heh?
Itu tidak baik. Kau tidak seharusnya berada di sana. Kalau kau tidak merasa nyaman, pergilah. Kalau kau tidak bisa berkamuflase, diam atau pergilah. Jangan membuat perasaanmu jadi tidak enak sendiri. Mereka hanya menjalani hidup mereka dengan normal. Kau juga harus begitu, lakukan apa yang kau suka. Memaksakan diri tetap selevel dengan mereka itu membuat kepalamu sakit 'kan?
Kau benar.
Tidak ada salahnya menjadi berbeda atau keberadaanmu tidak disadari oleh mereka. Tetap perhatikan mereka dengan caramu.
Ah, tsundere*?
Nah, aku tidak tahu.
Ah, oke.
Kesimpulannya, terima kasih atas inspirasinya.
Yah, jangan sungkan-sungkan. Meski aku tidak tahu maksudmu. 
Ya sudahlah.
Nah, coba tebak apa yang aku lakukan tadi?
Berdiam diri dan mengobrol denganku?
Ya. Tapi ada hal lain yang aku lakukan.
Apa itu?
Tebak saja. Jangan menyerah begitu saja.
Kau ini hanya mempermainkanku!
Hehehe, kau mudah sekali digoda. Aku mencari inspirasi untuk kesenanganku.
Hah?
Kau adalah inspirasiku.
Mm...yeah. Aku merasa terhormat. Tapi bagaimana bisa?
Aku yakin, hidupku lebih menarik di dalam kepalaku.
Wow, kalimat yang bagus!
Diamlah.
Hah? Aku salah bicara apa?
Kau cuma salah satu makhluk imajinasiku. Tidak boleh banyak berkomentar.
Oh, baiklah. Mau mengganti topik pembicaraan?
Tidak.
Kenapa?
Hahaha, kau ini menyenangkan, tapi aku juga ingin melakukan hal yang menyenangkan secara 'real'.
Hmm..hm..
Selesaikan saja lagumu. Aku sudah memberikanmu banyak inspirasi 'kan?
Yup.
Saatnya kau pergi. Kau cukup membuatku sibuk siang ini.
Yup. Yup. Sebut saja namaku lain kali.
Ah, ya. Aku belum memberimu nama.
Terserah kau.
Hehehe, bye! bye!

          Hujan deras sudah menjadi gerimis. Orang-orang yang celananya setengah basah semakin banyak memenuhi ruangan. Kepulan asap dari cangkir-cangkir yang mereka minum semakin memperjelas aroma khas. Aroma Kopi. Sedangkan seseorang itu masih di tempat yang sama.
 Hey! 
Whoa!
Ayo pergi. Jangan terlalu fokus dengan belajarmu.
Hey, aku hanya menulis.
Sudahlah. Mereka sudah duluan keluar, tempat ini semakin sesak. Nah, kita bersenang-senang di tempat lain. Mereka bilang itu tempat yang menyenangkan. 
 Oh. Uhm... Hm!
 Cepat, cepat, atau mereka akan meninggalkan kita.
           Sekali lagi, bel kecil di pintu masuk berdenting dengan kerasnya. Ah, kali ini bukan si Celana Setengah Basah yang datang, tapi mereka yang berapi-api ingin merasakan sisa air hujan lewat ujung-ujung rambut mereka yang kering.

---END---


*tsundere : Tsundere (ツンデレ?) adalah salah satu bentuk proses pengembangan karakter Jepang yang menggambarkan perubahan sikap seseorang yang awalnya dingin dan bahkan kasar terhadap orang lain sebelum perlahan-lahan menunjukkan sisi hangat kepadanya. Kata ini berasal dari kata tsun tsun (ツンツン?) yang berarti membuang muka dengan jijik, ditambahdere dere (デレデレ?) yang berarti menjadi penuh kasih sayang atau sedang jatuh cinta.[1]Selain itu, kata ini juga dipakai untuk menggambarkan seseorang yang "biasanya menunjukkan sikap dingin, namun di depan orang yang disukainya, sikap tersebut berubah menjadi penuh kasih sayang." ( http://id.wikipedia.org/wiki/Tsundere )