Terjadi lagi. Saat aku
tepat melihat sosoknya yang memakai baju merah, angin berhembus pelan dan waktu
terasa terhenti. Aku tahu, aku sedang jatuh cinta. Kejadian seperti ini sudah
biasa bagi yang sedang terjatuh. Terjatuh dalam cinta, lupa di mana ia berada...
“Kamu ngerjain dekorasi yang
di sini dulu ya. Sambil nunggu temen-temen yang lain dateng,” kata Kak Rani.
“Iya,
Kak,” jawab Trisna singkat. Ia masih malu-malu untuk mengobrol santai dengan
Kak Rani, seniornya di kampus.
“Aku
tinggal sebentar ya. O, iya, buat masang-masang yang di tempat tinggi minta
tolong si Nanda,” Kak Rani terlihat mencari-cari sesosok yang bernama Nanda, “Nanda!!!
Bantuin sebelah sini geh! Kamu lagi nganggur kan?!” teriak Kak Rani dengan
suara cemprengnya.
Aku mengenalinya. Cowok yang pernah satu
kelas mata kuliah umum denganku. Namanya Nanda. Ciri khas darinya adalah
pendiam dan wajah ‘bangun tidur’nya yang mungkin bukan termasuk kategori ‘ganteng’.
Namun berhasil membuatku penasaran.
“Apa yang bisa aku bantu?”
tanya Nanda singkat.
Waktu terasa berhenti. Tanpa kusadari, hanya
ada aku dan Nanda di panggung untuk acara bakti sosial besok. Aku menatap
malu-malu. Dia bertanya malu-malu.
“Eh..iya..tolong pasangin
ini di sebelah sini ya.”
“Oke,
aku yang naik tangga, kamu yang pilihin mana yang mau dipasang.”
Hanya aku dan dia. Diatas
panggung hanya berdua. Dalam hati aku berharap semoga dia tidak melihat wajahku
yang bersemu merah. Lampu panggung berpijar redup. Sangat mendukung momen ini.
“Ng..kurang ke atas dikit,”
kata Trisna mengarahkan Nanda untuk memasang dekorasi ke tempat yang tepat.
“Kayak
gini?” tanya Nanda memastikan.
“Iya. Oke,
sip!”
Setelah
dekorasi di sisi kiri panggung terpasang semua, dengan hati-hati Nanda turun.
Sedangkan Trisna kembali memilih-milih dekorasi yang akan dipasang di sisi
kanan panggung.
“Pindah
sana, yuk.”
Mungkin hanya hal kecil. Aku senang
mendengar suaranya. Suara malu-malu tapi mampu menghipnotisku. Tiga kata. Satu
kalimat. Sepersekian detik. Aku merasa sudah lebih mengenalnya. Dia pemalu,
tetapi bukan penakut. Dia...menenangkan.
“Oke,” jawab Trisna patuh.
Dia benar-benar terhipnotis oleh cowok yang baru saja diajaknya mengobrol
sambil bekerja.
Seminggu
setelah malam itu, Trisna mendeklarasikan diri sebagai penggemar rahasia Nanda.
Mengikuti hidupnya dari sisi manapun. Twitter, Facebook, Blog, sampai website
jurusan ia telusuri. Meskipun hanya sedikit informasi tentang Nanda yang bisa
ia ketahui, Trisna ingin lebih mengenal
Nanda. Sampai suatu hari, terulang kembali efek waktu terhenti yang sama...
Dan pandangan kami saling bertemu tanpa
sengaja. Aku melihatnya tersenyum. Dia melihat aku yang sedang menatap penuh
arti padanya. Sederhana. Sekitarku tidak bergerak dan angin berhembus nyaman.
Daun kekuningan yang terbang tersapu angin sebentar saja menghalangi fokusku
padanya. Sampai pada akhirnya daun menyentuh tanah, dan kami menyadari
sesuatu...kami saling memandang malu-malu lalu salah tingkah.
“Kamu
kenapa sih senyum-senyum sendiri?” tanya Tiwi penasaran. Digodanya sahabat
karibnya itu. Tiwi tahu alasan aura Trisna tiba-tiba berubah. Orang yang
disukai Trisna ada di sekitar mereka.
“Ng...tau
sendiri kan...” jawab Trisna malas menjelaskan kalau ada Nanda yang dikaguminya
ada di sekitar situ. Dia malu kalau teman-teman yang lain, kecuali Tiwi, tahu
kalau sedang ada orang yang disukainya.
“Ssstt...dia
jalan ke arah sini tuh. Pantengin terus gih,” bisik Tiwi.
Tiba-tiba waktu terasa semakin melambat. Aku
terus menatapnya. Memperhatikan cara dia berjalan dan ekspresi wajah yang ia
buat saat mengobrol dengan temannya. Melambat....semakin melambat...namun angin
berhembus semakin kencang. Membawa banyak dedaunan...
Dia berjalan semakin
mendekat.
Jantungku berdegup
kencang.
Lalu waktu berhenti.
Angin tidak lagi
berhembus.
Yang ada hanya
dedaunan yang terjatuh lunglai.
Aku sudah meraih
tangannya...
“Aku suka kamu...”