Kamis, 21 Maret 2013

BONGSAN TALCHUM DAN WAYANG TOPENG RAMAYANA Mengenal Drama Tari Topeng di Korea dan Indonesia

BONGSAN TALCHUM DAN WAYANG TOPENG RAMAYANA
Mengenal Drama Tari Topeng di Korea dan Indonesia

logo ugm baku.jpg 

Oleh
Widya Hastuti Shiwie
11/318573/SA/16094


JURUSAN BAHASA KOREA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
BONGSAN TALCHUM DAN WAYANG TOPENG RAMAYANA
Mengenal Drama Tari Topeng di Korea dan Indonesia

Oleh
Widya Hastuti Shiwie

1.             Pendahuluan
Kebudayaan adalah keseluruhan kehidupan sosial umat manusia, terbuat dari interpretasi manusia, imajinasi, dan kreatifitas sebagai ungkapan perasaan. Dengan kata lain, kebudayaan mempunyai makna hasil dari pikiran dan kebiasaan manusia. Bentuk-bentuk hasil dari kebudayaan dapat berupa kepercayaan, ideologi, peribahasa, kiasan, tari, lukisan, pakaian, makanan, sistem politik, hukum, dan lain-lain. Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal dengan kebudayaannya yang beragam. Begitu juga dengan Korea, meskipun kebudayaannya tidak sebanyak Indonesia namun sangat khas dengan ciri orang Korea.
Tari topeng merupakan bentuk kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk tari topeng yang secara utuh atau tari topeng yang mempunyai cerita (drama tari). Drama tari topeng biasanya dimainkan oleh penari yang semuanya memakai topeng atau hanya sebagian pemain. Pada awalnya tari topeng dalam drama tari ini dipentaskan untuk keperluan upacara keagamaan. Akan tetapi, saat ini selain menjadi bagian dari ritual keagamaan juga menjadi salah satu daya tarik di sektor pariwisata. Baik Korea maupun Indonesia, keduanya mempunyai ciri tari topeng yang unik dan sudah terkenal di negara lain.
Tari topeng ada banyak jenisnya salah satu contohnya dari Indonesia adalah Tari Topeng Blantek dari Jawa Barat sedangkan tari topeng Korea yang terkenal saat ini adalah Tari Topeng Bongsan (Bongsan Talchum). Meskipun Korean Wave mampu memperkenalkan kebudayaan Korea ke seluruh dunia, di Indonesia sendiri tari topeng Korea masih sedikit yang mengetahuinya. Informasi maupun perunjukkan tari topeng Korea di Indonesia pun masih sangat sedikit.

1.             Filosofi Topeng
Mitos selama ini menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi simbolis atas nilai-nilai tertentu (lelaki-perempuan, kelembutan-kekuasaan, basah hujan-kering) yang terlambangkan dalam elemen-elemen kehidupan, lekat menghidupi keseharian masyarakat. Kepercayaan yang merasuk kehidupan sehari-hari itu menimbulkan interpretasi kreatif dalam benak. Namun sebagai konsepsi nilai tertinggi, mitos-mitos itu memuat interpretasi visual yang mewujud dalam bentuk purba sebagai topeng: ia tidak berjenis kelamin, multisimbol dan perspektif, serta sangat antropologis.
Topeng menjadi benda mitologis yang mendekatkan diri dengan konsep idealitas, dalam personifikasi yang paling dekat dan bisa disentuh. Pada saat yang sama, konsep mitos itu mendapat pengakuan dalam wujud topeng. Topeng mewakili dan mencipta kesakralan nilai yang ekspresif, personifikasi nilai yang mewujud serta pada saat yang sama proses pengenalan subjektivitas yang mengambang. Itu tampak jelas ketika masyarakat menggunakan topeng sebagai elemen ekspresi dalam berbagai ritus atau seni pertunjukan komunal, baik sebagai karya seni maupun sebagai bagian dari repertoar. Hal serupa juga disebutkan oleh R. Corens, “A mask is not just an item of curiosity. It’s much more; it is a magical object. (Pablo Picasso)” (Orginizing Comite, 2002: 19).
2.             Sejarah Tari Topeng
2.1.       Sejarah Tari Topeng di Korea
Sangatlah sulit untuk menjelaskan kapan pertama kali tari topeng dipentaskan di Korea. Beberapa catatan sejarah awal menyebutkan festival yang tampaknya telah menampilkan bentuk tertentu dari tari topeng. Kemungkinan, Cheoyong Nori, Putra Raja Naga, dilakukan oleh penari bertopeng yang memberikan sebuah cerita yang memiliki kualitas dramatis tertentu. Tari Topeng Bongsan adalah drama tari topeng perwakilan dari Provinsi Hwanghae, saat ini terletak di Korea Utara,  awalnya dipertunjukkan di Kyongsudae di perkampungan Bongsan. Setelah sekitar tahun 1915, ketika kantor administrasi kecamatan dipindahkan ke Sariwon, dan Railroad Seoul-Shinuiju dibuka, itu dilakukan di kaki Gunung. Kyongnam di Sariwon.
Talchum pada dasarnya adalah bentuk drama rakyat yang dinikmati dan ditransmisikan secara lisan kepada kelompok tertentu serta tidak memiliki hubungan dengan peristiwa negara. Oleh karena itu, tarian topeng jarang disebutkan dalam catatan sejarah dan sangat sulit untuk ditelusuri.
Tari topeng Korea mempunyai nama yang berbeda berdasarkan daerah di mana tarian tersebut. Awalnya, talchum yang berarti tari topeng diturunkan di provinsi Hwanghae, sedangkan daerah lain memiliki versi nama sendiri seperti Sandae Nori (bermain di panggung darurat), Deul noreum (upacara di lapangan) dan Ogwandwae (bermain dengan lima badut). Kemudia nama talchum digunakan untuk semua gaya tari topeng tradisional Korea karena dianggap istilah umum yang terbaik.
Drama tari topeng Korea tidak hanya berupa tarian yang dilakukan oleh penari bertopeng tetapi juga drama dengan karakter bertopeng yang menggambarkan orang, hewan dan kadang-kadang makhluk supranatural. Drama rakyat ini mencerminkan frustrasi yang dirasakan oleh kelas bawah terhadap Konghucu sastrawan Yangban, karena pengobatan yang terakhir dari rakyat jelata, menunjukkan kehidupan orang-orang biasa dan masalah proses sosial seperti biarawan yang mengabaikan ajaran mereka dan pria yang membuang istri tua mereka.
Tema dasar drama tari topeng adalah ritus eksorsisme, tarian ritual, satir menggigit, parodi kelemahan manusia, kejahatan sosial dan kelas istimewa. Mereka mengajak penonton untuk menghina biksu Buddha yang murtad, bangsawan dan pelayan, dan dukun. Tema lain yang populer adalah konflik antara istri tua dan selir menggoda.
2.2.       Sejarah Tari Topeng di Indonesia
Munculnya drama tari topeng di Indonesia masih ada hubungannya dengan pertunjukkan wayang wong, istilah ini menggunakan bahasa Jawa Baru pada abad 18. Sebelumnya, dalam kitab Sumanasantaka istilah ini sudah disebut-sebut pada abad 12. Sedangkan drama tari gaya Yogyakarta mulai dipertunjukkan pada abad 18 dan diciptakan oleh Sri Paduka Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792). Menurut Soedarsono (1974:5), drama tari gaya Yogyakarta diciptakan di istana Yogakarta pada abad 18 dan selalu mempergelarkan lakon-lakon dari epos Mahabarata lalu di abad 20 mulai mempergelarkan lakon Ramayana.
Dalam kitab Sumanasantaka selain menyebutkan tentang wayang wong juga disebutkan adanya pertunjukkan wayang wwang yang mempunyai arti etimologis sama dengan wayang wong, namun keduanya berbeda. Wayang wwang diperkirakan adalah pertunjukkan drama tari topeng dan disebut dengan istilah atapukan dalam prasasti Jaha (840M) dan masih terdapat dalam kitab Pararaton dari abad 16. Dengan kata lain, wayang wwang sudah lebih dulu ada sebelum wayang wong itu sendiri. Selain istilah atapukan, wayang wwang mempunyai perkembangan nama sebelum dikenal dengan drama tari topeng. Pada abad 14 dalam kitab Nagarakertagama disebutkan istilah lain dari drama tari topeng yaitu raket. Kemudian dalam Kidung Sunda dari abad 16, dalam bahasa Jawa Kuna terdapat istilah patapelan yang berarti drama tari topeng. Pada akhirnya lebih lazim disebut dengan wayang topeng dalam bahasa Jawa Baru.
Sama halnya dengan wayang wong, wayang wwang juga membawakan epos Mahabarata atau Ramayana yang berasal dari India. Kedua epos ini sudah populer di Indonesia pada abad-abad tersebut. Maka dapat dikatakan pula bahwa wayang wwang merupakan drama tari jawa tertua yang sudah membawakan cerita Ramayana atau Mahabarata.

3.             Tari Topeng Bongsan (Bongsan Talchum)
Tari Topeng Bongsan merupakan perwujudan berbagai pengaruh dari daerah yang beragam. Tarian ini terdiri dari gerakan, kelakar dan vokal yang diiringi irama piri (oboe silinder), daegeum (seruling bambu horisontal), haegeum (biola dua senar), janggu (drum dua sisi) dan buk (drum). Tari Topeng Bongsan dibagi menjadi tujuh bagian dan menampilkan 26 topeng selama 34 peran yang berbeda karena beberapa topeng mewakili beberapa karakter.
Tema yang digunakan adalah upacara keagamaan, satir tentang biarawan murtad dan bangsawan hancur, cinta segitiga antara seorang pria, istri dan gundik, dan kehidupan sehari-hari orang biasa. Tarian ini mengungkapkan cita-cita yang diceritakan melalui lelucon satir dan kisah-kisah yang ditetapkan dalam kerangka adat samansisme, kepercayaan Budha dan gagasan yang baik yang dihargai dan hukuman untuk penjahat.
Hal penting lainnya adalah terdapat ciri khas Korea dalam setiap kebudayaannya. Korea mempunyai tiga konsep sebagai jantung identitas Korea yaitu [Gi/] yang berarti semangat, energi; [Heung/] yang berarti keriangan, kenikmatan, kegembiraan, antusiasme; dan [Jeong/] yang berarti kasih sayang, kehangatan, welas asih, cinta. Dari ketiga konsep ini dua diantaranya menjadi ciri dari tari topeng Korea. Heung membentuk bangsa korea menjadi bangsa yang bersemangat dan diungkapkan melalui pertunjukkan drama, musik, dan lain-lain. Jeong ditampilkan dalam bentuk senyuman menawan dan menawarkan kehangatan dan kecintaaan terhadap sesama.
3.1.       Cerita dalam Tari Topeng Bongsan
3.1.1.          Cerita tentang Seorang Biksu Buddha Tua
Cerita ini mengisahkan tentang seorang biksu tua yang murtad. Seharusnya ia berlatih mediasi di sebuah kuil di pegunungan. Biksu tua itu mencari sekelompok biksu muda yang sedang bermain di lapangan. Lalu biksu tua itu bertemu dengan seorang dukun wanita yang cantik dan terpesona olehnya. Mereka pun hidup bahagia. Suatu hari, seorang playboy yang kuat bernama Chwibari, mengetahui bahwa ia seorang biarawan dan mengusir biksu tua dan mengambil wanita itu untuk dirinya sendiri. Maka, seekor singa yang merupakan wakil Buddha berniat untuk menghukum biksu tua itu, bukan Chwibari.
3.1.2.          Cerita tentang Seorang Bangsawan dan Pelayannya
Nama lain dari cerita ini adalah yangban, seorang bangsawan memerintah pelayannya sambil berteriak, sementara pelayannya hanya menyalahkan diri sendiri. Si bangsawan salah paham dengan pelayan tersebut dan merasa harus meringankan beban si pelayan. Kemudian mereka berdua bersuka cita menari bersama.
3.1.3.          Cerita tentang Wanita Tua dan Suaminya
Menceritakan tentang sepasang suami istri yang sudah tua dan saling bertengkar.
3.2.   Karakter dan Topeng dalam Tari Topeng Bongsan
servant-mask-bongsan-talchum.jpgold couple.jpg
            Gambar 1. Topeng Pelayan                            Gambar 2. Pasangan suami istri
lion.jpg         M36C6S5A73_36_img.jpg
                           Gambar 3. Singa                                      Gambar  4. Topeng Bongsan
all bonsan mask.jpg 
Gambar 5. Topeng dalam Tari Topeng Bongsan
4.             Tari Topeng Yogyakarta
Tari topeng di Jawa khususnya Yogyakarta memang tidak mempunyai nama dan cerita khusus seperti tari topeng lain yang ada di Cirebon, Bali, atau Malang. Hal ini dikarenakan setelah terpecahnya kerajaan Mataram-islam menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755, tradisi wayang topeng di Yogyakarta tidak hidup dan menghidupkan kembali wayang wong. Hal ini disebutkan oleh Sumardjo (2004: 34-35) dalam  bukunya:
Di istana Yogyakarta justru dihidupkan kembali wayang wong yang sudah lama tenggelam sejak zama Majapahit. Renaisans wayang wwang dari Majapahit yang terjadi di istana Yogyakarta ini masih berfungsi sakral dan mungkin juga ingin menunjukkan bahwa Yogyakarta kelanjutan dari kerajaan Majapahit yang jaya itu.
Sebaliknya, tradisi wayang topeng ini tetap hidup di Surakarta dengan 87 jenis topengnya.
Tari topeng atau wayang topeng yang menjadi salah satu bagian dari wayang wong di Yogyakarta biasanya membawakan cerita Raden Panji atau epos Mahabharata dan Ramayana.
4.1.       Cerita Ramayana
Kisah Ramayana diawali dengan adanya seseorang bernama Rama, yaitu putra mahkota Prabu Dasarata di Kosala dengan ibukotanya Ayodya. Tiga saudara tirinya bernama Barata, Laksmana dan Satrukna. Sejak remaja, Rama dan Laksmana berguru kepada Wismamitra sehingga menjadi pemuda tangguh. Rama kemudian mengikuti sayembara di Matila ibukota negara Wideha. Berkat keberhasilannya menarik busur pusaka milik Prabu Janaka, ia dihadiahi putri sulungnya bernama Sinta, sedangkan Laksmana dinikahkan dengan Urmila, adik Sinta.
Setelah Dasarata tua, Rama yang direncanakan untuk menggantikannya menjadi raja, gagal setelah Kaikeyi mengingatkan janji Dasarata bahwa yang berhak atas tahta adalah Barata dan Rama harus dibuang selama 15 (lima belas) tahunAtas dasar janji itulah dengan lapang dada Rama pergi mengembara ke hutan Dandaka, meskipun dihalangi ibunya maupun Barata sendiri. Kepergiannya itu diikuti oleh Sinta dan Laksmana. Namun kepergian Rama membuat Dasarata sedih dan akhirnya meninggal. Untuk mengisi kekosongan singgasana, para petinggi kerajaan sepakat mengangkat Barata sebagai raja. Tapi ia menolak, karena menganggap bahwa tahta itu milik Rama, sang kakak. Untuk itu Barata disertai parajurit dan punggawanya, menjemput Rama di hutan. Saat ketemu kakaknya, Barata sambil menangis menuturkan perihal kematian Dasarata dan menyesalkan kehendak ibunya, untuk itu ia dan para punggawanya meminta agar Rama kembali ke Ayodya dan naik tahta. Tetapi Rama menolak serta tetap melaksanakan titah ayahandanya dan tidak menyalahkan sang ibu tiri, Kaikeyi, sekaligus membujuk Barata agar bersedia naik tahta. Setelah menerima sepatu dari Rama, Barata kembali ke kerajaan dan berjanji akan menjalankan pemerintahan sebagai wakil kakaknya.
Banyak cobaan yang dihadapi Rama dan Laksmana, dalam pengembaraannya di hutan. Mereka harus menghadapi para raksasa yang meresahkan masyarakat disekitar hutan Kandaka itu. Musuh yang menjengkelkan adalah Surpanaka, raksesi yang menginginkan Rama dan Laksmana menjadi suaminya. Akibatnya, hidung dan telinga Surpanaka dibabat hingga putus oleh Laksmana. Dengan menahan sakit dan malu, Surpanaka mengadu kepada kakaknya, yaitu Rahwana yang menjadi raja raksasa di Alengka, sambil membujuk agar Rahwana merebut Sinta dari tangan Rama. Dengan bantuan Marica yang mengubah diri menjadi kijang keemasan, Sinta berhasil diculik Rahwana dan dibawa ke Alengka.
Burung Jatayu yang berusaha menghalangi, tewas oleh senjata Rahwana. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Jatayu masih sempat mengabarkan nasib Sinta kepada Rama dan Laksmana yang sedang mencarinya.Dalam mencari Sinta, Rama dan Laksamana berjumpa pembesar kera yang bernama Sugriwa dan Hanuman. Mereka mengikat persahabatan dalam suka dan duka. Dengan bantuan Rama, Sugriwa dapat bertahta kembali di Kiskenda setelah berhasil mengalahkan Subali yang lalim. Setelah itu, Hanuman diperintahkan untuk membantu Rama mencari Sinta. Dengan pasukan kera yang dipimpinAnggada, anak Subali, mereka pergi mencari Sinta.
Atas petunjuk Sempati, kakak Jatayu, mereka menuju ke pantai selatan. Untuk mencapai Alengka, Hanuman meloncat dari puncak gunung Mahendra. Setibanya di ibukota Alengka, Hanuman berhasil menemui Sinta dan mengabarkan bahwa Rama akan segera membebaskannya. Sekembalinya dari Alengka, Hanuman melapor kepada Rama. Strategi penyerbuan pun segera disusun. Atas saran Wibisana, adik Rahwana yang membelot ke pasukan Rama, dibuatlah jembatan menuju Alengka. Setelah jembatan jadi, berhamburanlah pasukan kera menyerbu Alengka. Akhirnya, Rahwana dan pasukannya hancur. Wibisana kemudian dinobatkan menjadi raja Alengka, menggantikan kakaknya yang mati dalam peperangan.
Setelah berhasil membebaskan Sinta, pergilah Rama dan Sinta serta Laksmana dan seluruh pasukan (termasuk pasukan kera) ke Ayodya. Setibanya di ibukota negera Kosala itu, mereka disambut dengan meriah oleh Barata, Satrukna, para ibu Suri, para punggawa dan para prajurit, serta seluruh rakyat Kosala. Dengan disaksikan oleh mereka, Rama kemudian dinobatkan menjadi raja.
4.2.       Karakter Topeng yang Digunakan dalam Drama Tari Topeng Ramayana
jatayu.jpg laksmana.jpeghanuman.jpg
Gambar 6. Jatayu                 Gambar 7. Laksmana          Gambar 8. Hanoman
kumbakarna.jpg
Gambar 9. Rahwana


rahwana direbut pasukan kera.jpg
Gambar 10. Adegan saat pasukan kera menangkap Rahwana
5.      Penutup
Tari topeng yang pada awalnya mungkin dianggap sebagai salah satu bentuk dari ritual kepercayaan tertentu, ternyata mempunyai sejarah panjang dalam perkembangannya. Nilai-nilai magis dan historis dalam sebuah topeng menjadi daya tarik tersendiri untuk dibahas. Salah satu alasan tulisan ini dibuat adalah minimnya informasi tentang tari topeng Korea dan perbandingannya dengan tari topeng yang ada di Indonesia. Makalah ini dibuat untuk memberikan wawasan tentang perbedaan antara tari topeng yang ada di Korea dan di Indonesia. Baik perbedaan dari bentuk topeng yang digunakan, cerita yang dimainkan, jumlah pemain, musik pengiring, maupun sejarahnya.
Secara umum, antara tari topeng Korea dengan tari topeng Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat mencolok. Tari topeng Korea, banyak terpengaruh oleh Shamanisme, budaya Jepang, dan berasal dari pengalaman-pengalaman hidup yang pernah dialami oleh rakyat Korea. Sedangkan tari topeng Indonesia terpengaruh oleh cerita-cerita dari India dan wayang orang. Bentuk topengnya pun berbeda. Topeng Korea lebih sederhana bentuk dan motifnya. Lain halnya dengan topeng Indonesia yang terlihat lebih rumit karena banyaknya ukiran-ukiran. Namun, semua topeng tetaplah sama. Semua topeng selalu menunjukkan ekspresi, watak, dan emosi tertentu.
 DAFTAR LAMAN

http://kfk.kompas.com/kfk/view/101743 diakses tanggal 14 Januari 2013 jam 12.05
http://www.bongsantal.com/en_introduce.html diakses tanggal 14 Januari 2013 jam 12.56
http://www.koreatimes.co.kr/www/news/art/2010/10/153_46700.html diakses tanggal 14 Januari      2013 jam 13.39


 DAFTAR PUSTAKA

Cho Dong Il. 2005. Spirit of Korean Cultural Roots 10: Korean Mask Dance. Lee Kyong-hee (Penerj.). Seoul: Ewha Womans University Press.
Kim Hae Ok. 2005. Study of Korean Culture: for Korean Language Teaching and Literature Education. Seoul: Yeokrak.

Kim Malborg. 2005. Spirit of Korean Cultural Root. 8: Korean Dance. Lee Jean Young (Penerj.). Seoul: Ewha Womans University Press.

Korea Tourism Organization. 2011. Korea.
Lee Namhee. 2007. The Making of Minjung: Democracy and the Politics of Representation in South Korea. Seoul: Cornell University Press.
Moehkardi. 2011.Sendratari Ramayana Prambanan: Seni dan Sejarahnya.
Moore, Marvelene C. dan Philip Ewell. 2010. Kaleidoscope of Cultures: A Celebration of Multicultural Research and Practice : Proceedings of the MENC/University of Tennessee National Symposium on Multicultural Music. R&L Education.
Ravina, Maria Clara V. (Ed.). 2002. Mask: The Other Face of Humanity: Various Visions on the Role of the Mask in Human Society. Filipina: Rex Book Store.
Soedarsono. Tanpa tahun. Beberapa Catatan tentang Seni Pertunjukkan Indonesia. Yogyakarta: Konservatori Tari Indonesia.
Sumardjo, Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.

1 komentar:

  1. Maaf, kalau gambarnya nggak muncul. Secepatnya saya perbaiki. *bow*

    BalasHapus