BONGSAN TALCHUM DAN WAYANG TOPENG
RAMAYANA
Mengenal Drama Tari Topeng di Korea
dan Indonesia
Oleh
Widya
Hastuti Shiwie
11/318573/SA/16094
JURUSAN
BAHASA KOREA
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
BONGSAN TALCHUM DAN WAYANG TOPENG
RAMAYANA
Mengenal Drama Tari Topeng di Korea
dan Indonesia
Oleh
Widya
Hastuti Shiwie
1.
Pendahuluan
Kebudayaan adalah keseluruhan
kehidupan sosial umat manusia, terbuat dari interpretasi manusia, imajinasi,
dan kreatifitas sebagai ungkapan perasaan. Dengan kata lain, kebudayaan
mempunyai makna hasil dari pikiran dan kebiasaan manusia. Bentuk-bentuk hasil
dari kebudayaan dapat berupa kepercayaan, ideologi, peribahasa, kiasan, tari,
lukisan, pakaian, makanan, sistem politik, hukum, dan lain-lain. Indonesia
merupakan salah satu negara yang dikenal dengan kebudayaannya yang beragam.
Begitu juga dengan Korea, meskipun kebudayaannya tidak sebanyak Indonesia namun
sangat khas dengan ciri orang Korea.
Tari
topeng merupakan bentuk kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dalam
bentuk tari topeng yang secara utuh atau tari topeng yang mempunyai cerita
(drama tari). Drama tari topeng biasanya dimainkan oleh penari yang semuanya
memakai topeng atau hanya sebagian pemain. Pada awalnya tari topeng dalam drama
tari ini dipentaskan untuk keperluan upacara keagamaan. Akan tetapi, saat ini
selain menjadi bagian dari ritual keagamaan juga menjadi salah satu daya tarik
di sektor pariwisata. Baik Korea maupun Indonesia, keduanya mempunyai ciri tari
topeng yang unik dan sudah terkenal di negara lain.
Tari topeng ada banyak jenisnya salah
satu contohnya dari Indonesia adalah Tari
Topeng Blantek dari Jawa Barat sedangkan tari topeng Korea yang terkenal
saat ini adalah Tari Topeng Bongsan (Bongsan Talchum). Meskipun Korean Wave mampu memperkenalkan
kebudayaan Korea ke seluruh dunia, di Indonesia sendiri tari topeng Korea masih
sedikit yang mengetahuinya. Informasi maupun perunjukkan tari topeng Korea di
Indonesia pun masih sangat sedikit.
1.
Filosofi Topeng
Mitos selama
ini menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi simbolis atas
nilai-nilai tertentu (lelaki-perempuan,
kelembutan-kekuasaan, basah hujan-kering) yang terlambangkan dalam
elemen-elemen kehidupan, lekat
menghidupi keseharian masyarakat. Kepercayaan yang merasuk kehidupan
sehari-hari itu menimbulkan interpretasi kreatif dalam benak. Namun sebagai
konsepsi nilai tertinggi, mitos-mitos
itu memuat interpretasi visual yang mewujud dalam bentuk purba sebagai topeng:
ia tidak berjenis kelamin, multisimbol dan perspektif, serta sangat
antropologis.
Topeng menjadi
benda mitologis yang mendekatkan diri dengan konsep idealitas, dalam
personifikasi yang paling dekat dan bisa disentuh. Pada saat yang sama, konsep
mitos itu mendapat pengakuan
dalam wujud topeng. Topeng mewakili dan mencipta kesakralan nilai yang
ekspresif, personifikasi nilai yang mewujud serta pada saat yang sama proses
pengenalan subjektivitas yang mengambang. Itu tampak jelas ketika masyarakat
menggunakan topeng sebagai elemen ekspresi dalam berbagai ritus atau seni
pertunjukan komunal, baik sebagai karya seni maupun sebagai bagian dari
repertoar. Hal serupa
juga disebutkan oleh R. Corens, “A mask
is not just an item of curiosity. It’s
much more; it is a magical object. (Pablo
Picasso)” (Orginizing Comite, 2002: 19).
2.
Sejarah Tari Topeng
2.1.
Sejarah Tari Topeng di Korea
Sangatlah
sulit untuk menjelaskan kapan pertama kali tari topeng dipentaskan di Korea.
Beberapa catatan sejarah awal menyebutkan festival yang tampaknya telah
menampilkan bentuk tertentu dari tari topeng. Kemungkinan, Cheoyong Nori, Putra Raja Naga, dilakukan oleh penari bertopeng
yang memberikan sebuah cerita yang memiliki kualitas dramatis tertentu. Tari
Topeng Bongsan adalah drama tari
topeng perwakilan dari Provinsi Hwanghae, saat ini terletak di Korea
Utara, awalnya dipertunjukkan di
Kyongsudae di perkampungan Bongsan. Setelah sekitar tahun 1915, ketika kantor
administrasi kecamatan dipindahkan ke Sariwon, dan Railroad Seoul-Shinuiju
dibuka, itu dilakukan di kaki Gunung. Kyongnam di Sariwon.
Talchum pada dasarnya adalah bentuk drama
rakyat yang dinikmati dan ditransmisikan secara lisan kepada kelompok tertentu
serta tidak memiliki hubungan dengan peristiwa negara. Oleh karena itu, tarian
topeng jarang disebutkan dalam catatan sejarah dan sangat sulit untuk
ditelusuri.
Tari
topeng Korea mempunyai nama yang berbeda berdasarkan daerah di mana tarian
tersebut. Awalnya, talchum yang
berarti tari topeng diturunkan di provinsi Hwanghae, sedangkan daerah lain
memiliki versi nama sendiri seperti Sandae
Nori (bermain di panggung darurat), Deul
noreum (upacara di lapangan) dan Ogwandwae
(bermain dengan lima badut). Kemudia nama talchum
digunakan untuk semua gaya tari topeng tradisional Korea karena dianggap
istilah umum yang terbaik.
Drama
tari topeng Korea tidak hanya berupa tarian yang dilakukan oleh penari
bertopeng tetapi juga drama dengan karakter bertopeng yang menggambarkan orang,
hewan dan kadang-kadang makhluk supranatural. Drama rakyat ini mencerminkan
frustrasi yang dirasakan oleh kelas bawah terhadap Konghucu sastrawan Yangban, karena pengobatan yang terakhir
dari rakyat jelata, menunjukkan kehidupan orang-orang biasa dan masalah proses
sosial seperti biarawan yang mengabaikan ajaran mereka dan pria yang membuang
istri tua mereka.
Tema
dasar drama tari topeng adalah ritus eksorsisme, tarian ritual, satir
menggigit, parodi kelemahan manusia, kejahatan sosial dan kelas istimewa.
Mereka mengajak penonton untuk menghina biksu Buddha yang murtad, bangsawan dan
pelayan, dan dukun. Tema lain yang populer adalah konflik antara istri tua dan
selir menggoda.
2.2.
Sejarah Tari Topeng di Indonesia
Munculnya
drama tari topeng di Indonesia masih ada hubungannya dengan pertunjukkan wayang wong, istilah ini menggunakan
bahasa Jawa Baru pada abad 18. Sebelumnya, dalam kitab Sumanasantaka istilah ini sudah disebut-sebut pada abad 12.
Sedangkan drama tari gaya Yogyakarta mulai dipertunjukkan pada abad 18 dan
diciptakan oleh Sri Paduka Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792). Menurut
Soedarsono (1974:5), drama tari gaya Yogyakarta diciptakan di istana Yogakarta
pada abad 18 dan selalu mempergelarkan lakon-lakon dari epos Mahabarata lalu di
abad 20 mulai mempergelarkan lakon Ramayana.
Dalam kitab Sumanasantaka selain menyebutkan tentang wayang wong juga disebutkan adanya pertunjukkan wayang wwang yang mempunyai arti
etimologis sama dengan wayang wong,
namun keduanya berbeda. Wayang wwang
diperkirakan adalah pertunjukkan drama tari topeng dan disebut dengan istilah atapukan dalam prasasti Jaha (840M) dan
masih terdapat dalam kitab Pararaton
dari abad 16. Dengan kata lain, wayang
wwang sudah lebih dulu ada sebelum wayang
wong itu sendiri. Selain istilah atapukan,
wayang wwang mempunyai perkembangan
nama sebelum dikenal dengan drama tari topeng. Pada abad 14 dalam kitab Nagarakertagama disebutkan istilah lain
dari drama tari topeng yaitu raket.
Kemudian dalam Kidung Sunda dari abad 16, dalam bahasa Jawa Kuna terdapat
istilah patapelan yang berarti drama
tari topeng. Pada akhirnya lebih lazim disebut dengan wayang topeng dalam bahasa Jawa Baru.
Sama halnya dengan wayang wong, wayang wwang juga membawakan epos Mahabarata atau Ramayana yang
berasal dari India. Kedua epos ini sudah populer di Indonesia pada abad-abad
tersebut. Maka dapat dikatakan pula bahwa wayang
wwang merupakan drama tari jawa tertua yang sudah membawakan cerita
Ramayana atau Mahabarata.
3.
Tari Topeng Bongsan (Bongsan Talchum)
Tari Topeng Bongsan
merupakan perwujudan berbagai pengaruh dari daerah yang beragam. Tarian ini
terdiri dari gerakan, kelakar dan vokal yang diiringi irama piri (oboe silinder), daegeum
(seruling bambu horisontal), haegeum
(biola dua senar), janggu (drum dua
sisi) dan buk (drum). Tari Topeng Bongsan dibagi menjadi tujuh bagian dan
menampilkan 26 topeng selama 34 peran yang berbeda karena beberapa topeng
mewakili beberapa karakter.
Tema yang digunakan adalah upacara keagamaan, satir tentang
biarawan murtad dan bangsawan hancur, cinta segitiga antara seorang pria, istri
dan gundik, dan kehidupan sehari-hari orang biasa. Tarian ini mengungkapkan
cita-cita yang diceritakan melalui lelucon satir dan kisah-kisah yang
ditetapkan dalam kerangka adat samansisme, kepercayaan Budha dan gagasan yang
baik yang dihargai dan hukuman untuk penjahat.
Hal penting lainnya adalah terdapat
ciri khas Korea dalam setiap kebudayaannya. Korea mempunyai tiga konsep sebagai
jantung identitas Korea yaitu 기 [Gi/氣] yang berarti semangat, energi; 흥 [Heung/興] yang berarti keriangan, kenikmatan, kegembiraan, antusiasme;
dan 정[Jeong/精] yang berarti kasih sayang, kehangatan, welas asih, cinta.
Dari ketiga konsep ini dua diantaranya menjadi ciri dari tari topeng Korea. Heung membentuk bangsa korea menjadi
bangsa yang bersemangat dan diungkapkan melalui pertunjukkan drama, musik, dan
lain-lain. Jeong ditampilkan dalam
bentuk senyuman menawan dan menawarkan kehangatan dan kecintaaan terhadap
sesama.
3.1.
Cerita dalam Tari Topeng Bongsan
3.1.1.
Cerita tentang Seorang Biksu Buddha
Tua
Cerita ini mengisahkan tentang seorang
biksu tua yang murtad. Seharusnya ia berlatih mediasi di sebuah kuil di
pegunungan. Biksu tua itu mencari sekelompok biksu muda yang sedang bermain di
lapangan. Lalu biksu tua itu bertemu dengan seorang dukun wanita yang cantik
dan terpesona olehnya. Mereka pun hidup bahagia. Suatu hari, seorang playboy
yang kuat bernama Chwibari, mengetahui bahwa ia seorang biarawan dan mengusir
biksu tua dan mengambil wanita itu untuk dirinya sendiri. Maka, seekor singa
yang merupakan wakil Buddha berniat untuk menghukum biksu tua itu, bukan Chwibari.
3.1.2.
Cerita
tentang Seorang Bangsawan dan Pelayannya
Nama
lain dari cerita ini adalah yangban, seorang
bangsawan memerintah pelayannya sambil berteriak, sementara pelayannya hanya
menyalahkan diri sendiri. Si bangsawan salah paham dengan pelayan tersebut dan
merasa harus meringankan beban si pelayan. Kemudian mereka berdua bersuka cita
menari bersama.
3.1.3.
Cerita
tentang Wanita Tua dan Suaminya
Menceritakan
tentang sepasang suami istri yang sudah tua dan saling bertengkar.
3.2.
Karakter dan Topeng dalam Tari Topeng Bongsan
Gambar 1. Topeng Pelayan Gambar 2. Pasangan suami istri
Gambar 3.
Singa Gambar
4. Topeng Bongsan
Gambar 5. Topeng dalam Tari Topeng Bongsan
4.
Tari Topeng Yogyakarta
Tari topeng di Jawa khususnya
Yogyakarta memang tidak mempunyai nama dan cerita khusus seperti tari topeng
lain yang ada di Cirebon, Bali, atau Malang. Hal ini dikarenakan setelah
terpecahnya kerajaan Mataram-islam menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta
pada tahun 1755, tradisi wayang topeng di Yogyakarta tidak hidup dan
menghidupkan kembali wayang wong. Hal
ini disebutkan oleh Sumardjo (2004: 34-35) dalam bukunya:
Di istana Yogyakarta justru dihidupkan
kembali wayang wong yang sudah lama
tenggelam sejak zama Majapahit. Renaisans wayang
wwang dari Majapahit yang terjadi di istana Yogyakarta ini masih berfungsi
sakral dan mungkin juga ingin menunjukkan bahwa Yogyakarta kelanjutan dari
kerajaan Majapahit yang jaya itu.
Sebaliknya,
tradisi wayang topeng ini tetap hidup di Surakarta dengan 87 jenis topengnya.
Tari topeng atau wayang topeng yang menjadi salah satu bagian
dari wayang wong di Yogyakarta
biasanya membawakan cerita Raden Panji atau epos Mahabharata dan Ramayana.
4.1.
Cerita Ramayana
Kisah
Ramayana diawali dengan adanya seseorang bernama Rama, yaitu putra
mahkota Prabu Dasarata di Kosala dengan ibukotanya Ayodya. Tiga
saudara tirinya bernama Barata, Laksmana dan Satrukna. Sejak remaja, Rama dan Laksmana berguru kepada Wismamitra sehingga menjadi pemuda
tangguh. Rama kemudian mengikuti
sayembara di Matila ibukota negara Wideha. Berkat keberhasilannya menarik busur pusaka milik Prabu Janaka, ia dihadiahi putri
sulungnya bernama Sinta, sedangkan
Laksmana dinikahkan dengan Urmila,
adik Sinta.
Setelah Dasarata tua, Rama yang direncanakan untuk
menggantikannya menjadi raja, gagal setelah Kaikeyi mengingatkan janji Dasarata
bahwa yang berhak atas tahta
adalah Barata dan Rama harus dibuang selama 15 (lima belas) tahun. Atas
dasar janji itulah dengan lapang dada Rama pergi mengembara ke hutan Dandaka, meskipun
dihalangi ibunya maupun Barata sendiri. Kepergiannya itu diikuti oleh Sinta dan
Laksmana. Namun kepergian Rama membuat Dasarata sedih dan
akhirnya meninggal. Untuk mengisi kekosongan singgasana, para petinggi kerajaan
sepakat mengangkat Barata sebagai raja. Tapi ia menolak, karena menganggap
bahwa tahta itu milik Rama, sang kakak. Untuk itu Barata disertai parajurit dan
punggawanya, menjemput Rama di hutan. Saat ketemu kakaknya, Barata sambil
menangis menuturkan perihal kematian Dasarata dan menyesalkan kehendak ibunya,
untuk itu ia dan para punggawanya meminta agar Rama kembali ke Ayodya dan naik
tahta. Tetapi Rama menolak serta tetap melaksanakan titah ayahandanya dan tidak
menyalahkan sang ibu tiri, Kaikeyi, sekaligus membujuk Barata agar bersedia
naik tahta. Setelah menerima sepatu dari Rama, Barata kembali ke kerajaan dan
berjanji akan menjalankan pemerintahan sebagai wakil kakaknya.
Banyak cobaan yang dihadapi Rama dan Laksmana, dalam
pengembaraannya di hutan. Mereka harus menghadapi para raksasa yang meresahkan
masyarakat disekitar hutan Kandaka itu. Musuh yang menjengkelkan adalah Surpanaka, raksesi yang menginginkan
Rama dan Laksmana menjadi suaminya. Akibatnya, hidung dan telinga Surpanaka
dibabat hingga putus oleh Laksmana. Dengan menahan sakit dan malu, Surpanaka
mengadu kepada kakaknya, yaitu Rahwana yang
menjadi raja raksasa di Alengka, sambil membujuk agar Rahwana merebut Sinta
dari tangan Rama. Dengan bantuan Marica yang mengubah diri menjadi kijang keemasan, Sinta berhasil
diculik Rahwana dan dibawa ke Alengka.
Burung Jatayu yang
berusaha menghalangi, tewas oleh senjata Rahwana. Sebelum menghembuskan
nafasnya yang terakhir, Jatayu masih sempat mengabarkan nasib Sinta kepada Rama
dan Laksmana yang sedang mencarinya.Dalam mencari Sinta, Rama dan Laksamana
berjumpa pembesar kera yang bernama Sugriwa dan Hanuman. Mereka mengikat persahabatan
dalam suka dan duka. Dengan bantuan Rama, Sugriwa dapat bertahta kembali
di Kiskenda setelah
berhasil mengalahkan Subali yang
lalim. Setelah itu, Hanuman diperintahkan untuk membantu Rama mencari Sinta.
Dengan pasukan kera yang dipimpinAnggada,
anak Subali, mereka pergi mencari Sinta.
Atas petunjuk Sempati, kakak Jatayu, mereka menuju ke pantai selatan. Untuk
mencapai Alengka, Hanuman meloncat dari puncak gunung Mahendra.
Setibanya di ibukota Alengka, Hanuman berhasil menemui Sinta dan mengabarkan
bahwa Rama akan segera membebaskannya. Sekembalinya dari Alengka, Hanuman
melapor kepada Rama. Strategi penyerbuan pun segera disusun. Atas saran Wibisana, adik Rahwana yang membelot
ke pasukan Rama, dibuatlah
jembatan menuju Alengka. Setelah jembatan jadi, berhamburanlah pasukan
kera menyerbu Alengka. Akhirnya, Rahwana dan pasukannya hancur. Wibisana
kemudian dinobatkan menjadi raja Alengka, menggantikan kakaknya yang mati dalam
peperangan.
Setelah berhasil membebaskan Sinta, pergilah Rama dan
Sinta serta Laksmana dan seluruh pasukan (termasuk pasukan kera) ke Ayodya.
Setibanya di ibukota negera Kosala itu, mereka disambut dengan meriah oleh
Barata, Satrukna, para ibu Suri, para punggawa dan para prajurit, serta seluruh
rakyat Kosala. Dengan disaksikan oleh mereka, Rama kemudian dinobatkan menjadi
raja.
4.2.
Karakter Topeng yang Digunakan dalam
Drama Tari Topeng Ramayana
Gambar
6. Jatayu Gambar 7. Laksmana Gambar 8. Hanoman
Gambar
9. Rahwana
Gambar
10. Adegan saat pasukan kera menangkap Rahwana
5. Penutup
Tari topeng yang pada awalnya mungkin
dianggap sebagai salah satu bentuk dari ritual kepercayaan tertentu, ternyata
mempunyai sejarah panjang dalam perkembangannya. Nilai-nilai magis dan historis
dalam sebuah topeng menjadi daya tarik tersendiri untuk dibahas. Salah satu
alasan tulisan ini dibuat adalah minimnya informasi tentang tari topeng Korea
dan perbandingannya dengan tari topeng yang ada di Indonesia. Makalah ini
dibuat untuk memberikan wawasan tentang perbedaan antara tari topeng yang ada
di Korea dan di Indonesia. Baik perbedaan dari bentuk topeng yang digunakan,
cerita yang dimainkan, jumlah pemain, musik pengiring, maupun sejarahnya.
Secara umum, antara tari topeng Korea
dengan tari topeng Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat mencolok. Tari
topeng Korea, banyak terpengaruh oleh Shamanisme, budaya Jepang, dan berasal dari
pengalaman-pengalaman hidup yang pernah dialami oleh rakyat Korea. Sedangkan
tari topeng Indonesia terpengaruh oleh cerita-cerita dari India dan wayang
orang. Bentuk topengnya pun berbeda. Topeng Korea lebih sederhana bentuk dan
motifnya. Lain halnya dengan topeng Indonesia yang terlihat lebih rumit karena
banyaknya ukiran-ukiran. Namun, semua topeng tetaplah sama. Semua topeng selalu
menunjukkan ekspresi, watak, dan emosi tertentu.
DAFTAR LAMAN
http://kfk.kompas.com/kfk/view/101743
diakses tanggal 14 Januari 2013 jam 12.05
http://www.bongsantal.com/en_introduce.html
diakses tanggal 14 Januari 2013 jam 12.56
http://www.koreatimes.co.kr/www/news/art/2010/10/153_46700.html
diakses tanggal 14 Januari 2013 jam 13.39
Cho
Dong Il. 2005. Spirit of Korean Cultural
Roots 10: Korean Mask Dance. Lee Kyong-hee
(Penerj.). Seoul: Ewha Womans
University Press.
Kim
Hae Ok. 2005. Study of Korean Culture:
for Korean Language Teaching and Literature Education. Seoul: Yeokrak.
Kim Malborg.
2005. Spirit of Korean
Cultural Root. 8: Korean Dance. Lee Jean Young (Penerj.). Seoul: Ewha Womans University Press.
Korea
Tourism Organization. 2011. Korea.
Lee
Namhee. 2007. The
Making of Minjung: Democracy and the Politics of Representation in South Korea. Seoul: Cornell
University Press.
Moehkardi. 2011.Sendratari
Ramayana Prambanan: Seni dan Sejarahnya.
Moore,
Marvelene C. dan Philip Ewell. 2010. Kaleidoscope
of Cultures: A Celebration of Multicultural Research and Practice :
Proceedings of the MENC/University of Tennessee National Symposium on
Multicultural Music. R&L Education.
Ravina, Maria Clara V. (Ed.). 2002. Mask: The Other Face of Humanity: Various Visions on the Role of the Mask in Human Society. Filipina: Rex Book
Store.
Soedarsono.
Tanpa tahun. Beberapa Catatan tentang
Seni Pertunjukkan Indonesia. Yogyakarta: Konservatori Tari Indonesia.
Sumardjo,
Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern
dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.
Maaf, kalau gambarnya nggak muncul. Secepatnya saya perbaiki. *bow*
BalasHapus